Apa yang hari ini selalu kita sebut sebagai intelektual, ternyata sudah tak seperti yang kita bayangkan selama ini. Identitas intelektual yang sejak dulu kita bayangkan sebagai sosok yang selalu bergulat dalam persoalan-persoalan sekitar, problem-problem kerakyatan, dan selalu melahirkan gagasan-gagasan mendalam, segar, kritis serta mendidik, langka kita temui hari ini. Di balik megahnya istilah intelektual yang selama ini masih diyakini ‘kemasyhuran’-nya oleh sebagian orang, diam-diam mengalami sejumlah pergeseran orientasi: dari ruang-ruang sosial, dari problem rill kerakyatan, yang lebih sengit dan terbuka, ke ruang-ruang yang secara struktural relatif lebih privat dan tertutup, seperti, kampus, birokrasi, atau kegiatan-kegiatan akademik yang sifatnya sangat seremonial dan formalistik.
Konsekuesi atas pergeseran ini melahirkan perwujudan identitas intelektual yang baru. Yang lahir dari cetakan-cetakan instan, sarjana-sarjana prematur, yang fasih melafalkan teori-teori rumit dan melangit, tetapi asing dengan problem-problem aktual yang kini membelit rakyat akar rumput. Sesuatu yang hilang dari intelektual dalam wujudnya yang baru ini, adalah identitas intelektualnya yang “organik”, suatu subjek intelektual yang—menurut Antonio Gramsci—terlibat secara aktif dalam menerjemahkan ide-idenya dalam kenyataan sehari-hari, namun pada saat yang sama, juga memiliki karakter kesangsiang, dalam memposisikan diri di tengah-tengah realitas yang sedang ia geluti. Sosok intelektual seperti inilah yang kini lenyap di tengah-tengah kita.
Meski kini ratusan atau bahkan ribuan orang yang menggeluti berbagai disiplin keilmuan, atau dunia pemikiran, tetapi hanya ada beberapa nama—yang terdiri dari para pendahulu-pendahulu kita—yang mungkin pas dengan kriteria ‘intelektual organik’ di atas. Kita bisa sebut satu persatu, seperti: Ahmad Wahib, Mahbub Djunaidi, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, M. Natsir, dst. Pasca nama-nama besar tersebut, dunia intelektual kita menjadi kering. Yang justru sering kita jumpai hari ini, adalah mereka, yakni: para intelektual menara gading, yang hanya berlomba-lomba meraih pangkat akademik, namun tidak mampu memproyeksikan satu capaian pemikiran yang lebih kritis dan progresif melampaui nama-nama besar di atas.
***
Sehingga tidak heran, sampai hari ini, arus pemikiran dan kajian-kajian keilmuan kita macet. Katakanlah misalkan dalam studi keislaman (Islamic Studies) kita. Apa yang hari ini berlangsung dalam studi keislaman kita tak lebih hanya pengulangan-pengulangan pemikiran di masa lalu, yang tak mampu melepaskan diri dari nama-nama besar di atas yang hingga detik ini terlanjur menjadi icon dalam cakrawala studi keislaman kita. Hanya saja, hari ini, gagasan-gagasan tersebut hadir dalam kemasan yang lebih populer, lunak dan eksotis, yang bertolak dari trend-trend umat milenial hari ini, yang sebenarnya telah “terkondisikan” oleh budaya-budaya “narsistik” dari perkembangan teknologi-digital dewasa ini.
Arus budaya “narsistik” yang sangat mementingkan “bungkus”, yakni satu objek yang dipoles sedemikian rupa agar terlihat indah dan memukau untuk disaksikan, telah mengubah bagaimana proyek intelektual seharusnya berlangsung. Dalam kondisi ini, proyek intelektual bukan lagi menjadi kerja-kerja pemikiran yang kritis, mendalam, dan otentik, yang berjangkar pada keprihatinan dan pergolakan realitas kerakyatan. Sebaliknya, ia hadir dengan kemasan dan bungkus yang, “sederhana” serta “menghibur”, yang berisi pemikiran-pemikiran lama yang telah usang dan lapuk untuk diperdebatkan. Lihat saja saat ini bagaimana studi keislaman kita, ia hanya berputar-putar dalam narasi-narasi klasik: “Islam Nusantara”, “Moderatisme Islam”, dst.—sesuatu yang sejatinya sudah klise untuk didiskusikan.
Dengan kata lain, tak ada perubahan signifikan dalam khazanah pemikiran kita selama ini. Ia hanya diam di tempat. Meski berulang kali ia ditulis dalam bentuk karya atau riset-riset ilmiah, keadaan itu tak memberikan dampak apa-apa. Karena kajian-kajian tersebut tidak memliki kemendalaman secara substanstif dalam mengkaji atau menguji ulang pemikiran-pemikiran masa lalu secara kritis. Sehingga tidak ada yang menonjol dalam kajian-kajian keislaman kita hari ini. Ia hanya terdiri dari rongsokan-rongsokan wacana yang meriah bergema, tetapi miskin ide-ide baru yang mendalam.
Kita mungkin dapat mengatakan dengan nada kecut, bahwa teks-teks tentang kajian Islam selama ini hanyalah berupa abjat-abjat yang bisu, ia terlempar jauh dari problem-problem material umat kontemporer hari ini. Proyek intelektual hari ini, diakui atau tidak, memang sudah mengalami kebangkrutan, yang tidak mampu melahirkan lompatan-lompatan pemikiran yang lebih segar, melampaui dari apa yang sejak dulu telah dicapai.
***
Remuknya kajian Islam di atas ini hanya satu contoh—dari deretan fakta-fakta yang lain—akan tumbangnya dunia intelektual kita saat ini. Di situ kita bisa benar-benar melihat, bahwa dunia pemikiran sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia intelektual, ternyata kini telah kehilangan energi ideologis-nya. Yang membuatnya hanya menjadi serangkaian aktivitas-aktivitas akademik yang kaku, yang terjebak dalam kesibukan-kesibukan formal, yang berorientasi ke dalam, ke ruang-ruang privat, sehingga pada akhirnya membuatnya lupa pada peran sentralnya di luar, sebagai spirit pembebasan, atas segala bentuk problem-problem kerakyatan yang hingga kini terus berdenyut.
Satu karya intelektual yang kini meriah terbit dan dipublikasikan, bukan lagi berorientasi pada lahirnya ide-ide yang baru atau untuk merespon problem-problem material kerakyatan, tetapi malah berorientasi pragmatis: untuk prestise individual, mengejar pangkat akademik, dst. Karya-karya intelektual, seperti: riset ilmiah, makalah populer, atau paper, dalam keadaan seperti ini, akan dikatakan sukses hanya ketika ia sudah dimuat di jurnal-jurnal akademik, atau dipresentasikan di konferensi-konferensi elit-nasional/internasional. Keberhasilan karya-karya tersebut tidak dilihat dari kualatas ide di dalamnya, atau seberapa jauh ide tersebut memberikan kontribusi terhadap problem sekitar, melainkan dari seberapa sering nama penulisnya tercatat dalam “daftar isi” jurnal-jurnal ternama.
Melalui penjabaran ini, kita dapat meneroka lebih jauh bahwa apa yang selama ini kita sebut intelektual, sejatinya lebih tepat disebut: anti-intelektual. Betapa tidak, kerja-kerja intelektual hari ini benar-benar menjadi sesuatu yang sangat elitis, yang membuatnya terpental dari dinamika-dinamika sosial-kerakyatan, ke aktivitas-aktivitas yang seutuhnya didekte—untuk tidak mengatakan “terpenjara”—oleh institusi-institusi negara dan perguruan tinggi, yang kini sedang tunduk dan bersimpuh dihadapan “pasar global”—pihak yang sejak dulu memang telah menginjak-injak kedaulatan rakyat-rakyat kecil pinggiran. []
*Tulisan ini telah terbit sebelumnya di www.news.detik.com pada 14 Agustus 2019