Hujan lebat membatasi jarak pandang kami. Air mengalir di sepanjang jalan, angin semakin riuh, para pengendara motor banyak yang berteduh, kecuali pengendara mobil yang tak merasakan setetes pun air hujan, di pusat kota. Sedangkan kami kebingungan mau lanjut atau kembali ke rumah, kami harus pikir berkali-kali. Kami sulit memutuskan, terutama aku yang paling berkepentingan.
Aku dan temanku menggunakan motor yang berbeda, motor tuakulah yang sudah tiga kali mogok, untung tidak ada kendaraan menabrak dari belakang, panas mesin tidak lebih tangguh dari dinginnya air bah.
Di tengah perjalanan, di depan sebuah toko kelontong, temanku punya inisiatif. Ia punya keluarga di sekitar tempat kami berhenti, keluarganya punya kantin yang berada di belakang kantor dinas, ia ingin motorku dititipkan di sana dan aku ikut dia kembali ke rumahnya. Aku setuju.
Kami berkendara pelan sekali, takut motorku tiba-tiba mogok, jalanan licin, ban motorku sudah tipis, mudah tergelincir. Kantin itu bersebelahan dengan parkir mobil, tampak sebuah mobil dinas bercat putih dan biru muda, sebuah motor diparkir tidak sejajar dengan mobil, kunci motor itu dibiarkan begitu saja. Kami buru-buru masuk kantin, temanku mengenalkanku pada seorang perempuan paruh baya dan seorang laki-laki yang asyik bermain handphone—ia baru mendongakkan kepalanya setelah aku berdiri di dekatnya, di depannya, sambil menjulurkan tangan. Kami semua saling bercerita seperti seorang kenalan lama yang baru bertemu lagi.
Mungkin aku terlalu terbuka, terlalu lancar bercerita tentang berbagai hal, sampai cerita seorang peternak lalat.
“Biasa, wartawan,” celetuk temanku saat aku asyik cerita.
“Oh, wartawan, di sini sering ada wartawan. Mereka sering makan di sini, dibayari dinas,” kata perempuan paruh baya itu merespons pernyataan temanku secara spontan.
Sebelumnya ia tampak bermuka datar mendengarkan ceritaku, baru kali ini mimik wajahnya tiba-tiba berubah menjadi antusias, lebih bergairah. Aku terdiam. Sekarang ganti, giliran aku yang mendengarkan ia bercerita tentang para wartawan yang sering nongkrong di kantinnya.
Tempat itu strategis untuk memantau keluar-masuk para pegawai dinas, keberadaannya tidak begitu mencolok tetapi bisa melihat gerbang dinas dengan jelas sambil makan atau sekadar menyeruput kopi. Ia pikir aku datang ke sana untuk meliput, meliput bupati. Baru saja di kabupaten itu melangsungkan Pilkada. Bupati pertahana tidak bisa “duduk” kembali.
Perempuan itu terus bercerita tentang politik di kotanya yang penuh intrik, dibumbui ungkapan-ungkapan kekesalannya kepada pemerintah. Aku terdiam, duduk di kursi bersebelahan dengan temanku, sambil menikmati segelas teh hangat yang perempuan itu suguhkan dengan rasa persaudaraan. Sambutannya hangat, ceria, penuh senyum, canda tawa, dan gratis.
Pikiranku mengembara ke mana-mana, ke jalan-jalan yang aku lalui, ke mall yang aku singgahi, ke pasar-pasar, dan ladang-ladang petani sepanjang sisi jalan menuju kota, lalu kembali lagi ke para wartawan di kantin itu. Bagaimana mereka meliput? Pertanyaan demi pertanyaan terus timbul di kepalaku: mengapa seorang artis minum di pinggir jalan diliput? Mengapa berita jalan-jalan yang rusak tidak pernah viral, atau ditulis berulang-ulang seperti berita seorang perempuan jongkok selama 19 detik? Mengapa air mata korban banjir seolah lebih menarik ditayangkan daripada pejabat daerah yang tidak becus menata tata ruang kota? Mengapa wartawan lebih senang meliput air mata buaya yang mengalir daripada mata air yang mengering? Apa hubungan semua itu dengan traktiran orang dinas di kantin?
Sore itu semua wartawan mungkin sudah pulang ke rumah masing-masing menikmati hidangan bersama anak-istri dengan mesra setelah jari-jari mereka mengetik tentang air mata para gelandangan, petani, buruh, orang-orang miskin, dan memuja para pejabat yang telah mentraktir mereka segelas susu dan sepiring mie instan menggunakan anggaran pemerintah demi “berjalannya” pemerintahan yang kondusif, aman, tenteram, mulus, semulus wajah mereka ketika tampil di televisi dengan bedak harga selangit, sambil tersenyum, tertawa, dan menjawab semua pertanyaan dan keluhan, “Semua bisa diatur.” Aku yakin tidak semua jurnalis seperti itu.
“Jika jurnalisme bermutu, maka bermutu pula demokrasi di daerah itu, demikian sebaliknya,” kira-kira seperti itu yang aku ingat dari pernyataan Bill Kovach, penulis buku The Elements of Journalism.
Siapa yang berkompromi dalam jurnalisme? Siapa yang berkompromi dalam menodai jurnalisme? Sejauh mana keterbukaan informasi mewarnai demokrasi kita? Aku tidak tahu jawabnya. Aku hanya bisa menduga-duga.
Mungkin, para wartawan kekurangan gaji, perusahaannya tidak menggajinya dengan layak sehingga ia harus banyak berkompromi dengan pemerintah untuk menambah pemasukan. Saat itu wartawan benar-benar memantau pemerintah, memantau uang pemerintah agar dapat bagian, bukan supaya digunakan pada yang berhak. Di sisi lain, mungkin para pejabat/pemegang kebijakan sengaja meninabobokan para wartawan demi menutupi ketidakbecusan mereka dalam mengelola pemerintahan, mereka ingin mengesankan bahwa mereka seorang super power.
Aku ingat sebuah foto beberapa orang memegang poster bertulis, “… cantik tapi licik.” Padahal, sepengetahuanku, daerah itu adalah daerah yang maju, keren, dan indah dengan nuansa alamnya yang bertabur senja.
Perempuan paruh baya itu sudah berhenti bercerita dan aku berhenti melamun sambil bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku menanyakan diri sendiri?” Kami berdua pamit pulang, teh belum habis. Aku teguk lagi sampai benar-benar habis. Semoga tidak ada sisa teh terbuang sia-sia, walau masih banyak tanya tersisa di sana!
*peminum kopi pahit