Membaca(-Kembali) NU: Kritik dan Refleksi Menuju 1 Abad NU

Ada satu pergeseran penting dalam pola pandang kita terhadap NU: dari dimensi material-kosmologis, titik dimana NU menjangkarkan diri, medium dimana basis-basi NU berpijak, ke dimensi-dimensi yang sifatnya struktural dan organisasional, sesuatu yang tentu saja, lebih formal, dan prosedural. Konsekuensi pergeseran ini melahirkan satu pembacaan yang pragmatis terhadap NU, yakni dengan melihat kesuksesan dan keberhasilan NU hanya pada tataran menengah-atas. Sementara itu, mengabaikan kondisi material-kosmologis ke-NU-an di level bawah, akar rumput. Di bawah pembacaan pragmatis seperti ini, keberhasilan NU hanya bertolak pada kalkulasi-kalkulasi elitis: sejauh mana kader-kader NU bisa duduk di bangku strategis kekuasaan, sejauh mana ia mendominasi, sejauh mana ia berhasil intervensi—untuk tidak mengatakan “kompromis”—dengan rezim kekuasaan yang neolib dan oligarkis seperti saat ini.

Maka tidaklah heran jika hari ini kebanyakan kaum Nahdliyin sedang tenggelam dalam satu euphoria—dengan kompak sama-sama memberikan applause—dalam merayakan posisinya yang semakin mapan, masuk dan terlibat dalam relasi yang semakin hegemonik antara kekuasaan dan kekuatan-kekuatan neoliberalisme. Alih-alih merasa sukses “meng-NU-an negara”, namun sejatinya justru gagal membela basisnya sendiri yang hari ini sedang terbelit banyak problem-problem struktural, yang memang disebabkan oleh agenda-agenda borjuistik kekuasaan dan para pemilik modal.

Memang keadaan ini mengundang satu wajah yang paradoks: bagaimana mungkin NU disebut gagal membela basis, tepat saat banyak kader NU sukses dalam politik elektoral? Bukankah dengan keterlibatan kader-kader NU di medan kekuasaan tersebut menjadi kabar manis, karena dengannya NU secara langsung akan berkontribusi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada basis rakyat NU sendiri? Bagaimana mungkin disebut gagal, disaat wawasan keberislaman kaum Nahdliyin hari ini menjadi narasi studi Islam arus utama, yang memang sudah digaransi oleh negara? Bukankah kondisi ini patut diapresiasi, karena bagaimana pun keadaan tersebut menjadi penanda penting bahwa kerja-kerja ideologis NU ada hasilnya, yakni dengan jatuhnya Islam Nusantara dan Islam moderat ke pelukan kekuasaan.

***

Menjelang 1 abad NU, kita perlu serius merefleksikan kondisi—yang kian terabaikan—ini. Namun untuk melakukan pembacaan terhadap NU agar lebih segar dan jernih, kita perlu menggeser ulang bagaimana kita selama ini membacanya: dari pembacaan struktural dan organisasional—sebagaimana sebuah pembacaan NU arus utama—ke dimensi-dimensi material-kosmologis. Dengan pembacaan ini sebagai titik berangkat dalam melihat NU, tentu saja kita akan mendapatkan fakta-fakta yang berbeda dari pembacaan NU arus utama—sebagaimana di atas telah disinggung: bukan rasa senang, bukan rasa bangga, bukan rasa takjub, seperti saat kita melihat NU melalui parameter-parameter arus utama tadi. Sebaliknya, melalui pembacaan ini, justru yang akan kita dapatkan adalah fakta-fakta tentang “alienasi” dan “kontradiksi”, antara semakin masifnya proletarisasi warga Nahdliyin di akar rumput, dan semakin menguatnya kelas menengah-atas kaum Nahdliyin terhadap akses kapital dan kekuasaan yang dimanjakan oleh iklim neoliberal hari ini.

Dengan kata lain, arus pembacaan ini dapat menunjukkan satu kondisi penting, bahwa di balik klaim-klaim keberhasilan tentang NU, yang mewujudkan diri dalam relasi yang semakin intim dan matang dengan kekuasaan, ada suara-suara yang terkubur, kemanusiaan yang tergilas, kedaulatan yang diinjak-diinjak, yang berlangsung riil di tengah-tengah kehidupan kaum Nahdliyin di berbagai daerah. Dengan kondisi ini, kita dapat mengatakan bahwa terdapat satu keterputusan ideologis dan praksis antara bagaimana NU hari ini digerakkan dan kondisi-kondisi material yang dihadapi oleh basis-basisnya di akar rumput.

Dalam wilayah ideologis, keterputusan tersebut terdeteksi justru tepat saat wawasan keislaman kaum Nahdliyin hari ini menjadi narasi studi Islam arus utama, yang selama ini menjadi corong utuma kekuasaan untuk agenda-agenda dakwah ke-Islam-annya. Dalam konteks ini, yang perlu dipahami, bahwa kekuasaan yang selalu diasosiasikan sebagai partner NU ini adalah kekuasaan yang telah terdikte oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme-neoliberal, yang kebijakan-kebijakannya selalu dikondisikan untuk menggelar “karpet merah” pada agenda-agenda produksi akumulasi kapital tanpa batas. Dalam peta kekuasaan yang seperti ini, kajian ke-Islam-an yang dibutuhkan adalah khazanah ke-Islam-an yang lunak, yang mampu bersikap kompromis dan adaptif bagi segala bentuk agenda-agenda kekuasaan.

Wajah ke-Islam-an NU, yang sejak dulu selalu tampil dengan narasi-narasi diskursif yang moderat, lemah lembut, ramah, sejuk dan lunak, tentu menjadi relevan di sini. Disebut relevan, karena melalui wawasan Islam seperti itulah, warga Nahdliyin dan umat muslim secara umum dapat dikondisikan, dengan menerima secara taken for granted atas seluruh keadaan yang disediakan dalam dunia neoliberal. Dengan kata lain, wawasan keber-Islam-an kaum Nahdliyin ini diproyeksikan sebagai instrumen pendisiplinan—atau ideological state apparatus dalam istilah Althusser—untuk mengendalikan umat muslim agar tetap menunduk saat termarginalisasi oleh kebijakan-kebijakan kekuasaan. Sebagai umat muslim, di bawah arus keberislaman yang seperti ini, ia harus patuh, tidak boleh melawan negara, alih-alih demi membangun kerukunan dan persatuan di tengah-tengah umat.

Apa yang lenyap dari iklim ke-Islam-an seperti ini adalah resistensi publik Nahdliyin berhadapan dengan tantangan-tantangan eksploitatif neoliberal, karena tuntutan untuk selalu menampilkan Islam yang ramah dan toleran, yang pada gilirannya, melahirkan sikap-sikap kompromis terhadap ekspansi neoliberal, yang sangat difasilitasi oleh sistem kekuasaan yang saat ini berjalan,

Pada titik inilah, khazanah ke-Islam-an—sebagaimana yang diadopsi dari NU—tidak lagi hadir dengan spiritnya yang—dalam istilah Gus Dur—transformatif, yakni satu wawasan ke-Islam-an yang dapat berkonfrontasi langsung dengan realitas dunia yang dinamis. Malah sebaliknya, wawasan ke-Islam-an kita di bawah iklim neoliberal hari ini hadir sebagai “stempel halal”, yang digunakan untuk menormalisasi kontradiksi-kontradiksi material kerakyatan yang berlangsung akibat dampak-dampak destruktif kapitalisme-neoliberal. Kondisi ini menjelaskan bagaimana keterputusan praksis NU kini berlangsung. Keterputusan tersebut beroperasi tepat saat gerakan kaum Nahdliyin mampu dijinakkan di hadapan kekuasaan yang diam-diam telah berhasil mengorkestrasi sejumlah problem-problem kerakyatan di akar rumput: perampasan ruang hidup, ketimpangan kelas, kemiskinan struktural, krisis ekologi, dst.

***

Pola pembacaan seperti ini rasanya perlu digiring menjadi pembacaan arus utama terhadap NU. Artinya, kita tidak bisa hari ini hanya melihat kesuksesan NU dari “atas”, tetapi juga harus berangkat dari “bawah”, titik dimana lembaran historis NU pertama kali dibuka. Dengan begitu, upaya pembacaan ini nanti dapat menjadi starting point untuk menggali kembali spirit emansipasi yang progresif baik dalam dimensi ideologis maupun praksis di kalangan warga Nahdliyin kedepan: sesuatu yang selama ini telah sirna, terkubur di bawah pekikan-pekikan kosong: NKRI harga mati, pancasila jaya, dst. Tentu saja i’tikad seperti ini tidaklah mudah. Tidak bisa selesai dalam sekejap mata memandang, Karena untuk melakukan ijtihad gerakan seperti ini, harus “membentur” tatanan ideologis yang kini sudah terlanjur menjadi mapan.

Untuk “membentur” tatanan ideologis kaum Nahdliyin yang sudah mapan tersebut, kita bisa memulai dengan melakukan refleksi secara kritis atas bagaimana kita selama ini membaca NU. Ya, kita bisa memulainya detik ini juga: menjelang 1 abad NU. Wallahua’lam.

*Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di Majalah Alfikr Edisi XXXV

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post